Project

Sedikit ngarai di Nusantara

Konon dulu ketika semua impian masih terlihat di atas angkasa, beberapa malaikat turun tiap pagi, bersamaan dengan memudarnya pekat malam. Tiap-tiap dari mereka membawa cawan berisi jawaban doa-doa yang mereka dengar malam harinya. Mereka menyenandungkan nada-nada, yang serupa semilir angin yang di tiup rendah pada violin.

Jadi padukan lah kedua tangan mu, rendahkan lah serendah rendahnya, termasuk egomu.






le Sens de Toi

Hati Din, 
Janganlah kau remehkan, 
Kalau kau mencintai sepenuh hati, 
Gunung pun akan sanggup kau balik, 
Pun jika kau membenci sepenuh hati,
Laut akan dapat kau keringkan. 

Chat - 2019 


Agustus, 2019.

Pada sebuah perjalanan di mana banyak ter-urai makna pada setiap tapaknya, kita mencercap pemahaman yang di bawa angin. Dan mungkin itu adalah kemerdekaan, apakah perjalanan ini membawa kemerdekaan ? apakah setelah semua ini berlalu bisa di sebut merdeka ? Apakah dengan perjalanan ini bisa terbuka semua belenggu yang mengkungkung ? Sebagai manusia, sebagai pen-cinta ? sebagai makhluk fana yang senang bersolek dalam cerita ?

Merdeka dalam kiasan keseharian dimana masih kita rayakan kemerdekaan di dalam belenggu-belenggu, tafsiran tanpa batas tentang arti sederhana nya seolah tak tersentuh. Manusia. Hanya untuk memberikan kamuflase tentang betapa kita menghargainya, kita merayakan nya. Atau mungkin hanya menjadi agenda tahunan semata. Karena rasa nasionalis yang menggebu, selainya itu hambar. Manusia.

Ya, menjadi manusia itu sendiri saja sudah terbelenggu, hal mana bisa di katakan kita merayakan kemerdekaan ?. Kemerdekaan adalah sebuah prosa, kalimat, penamaan untuk sesuatu yang terlanjur di sepakati bersama. Manusia menamainya demikian, alih-alih sebuah kenyataan yang bermakna keluar dan kedalam. Secara duniawi manusia tidak akan pernah merdeka dari keinginan yang menjelma seakan kebutuhan. Di provokasi sedemikian rupa oleh molek nya iklan-iklan pada media-media. Saat ini media adalah gadget paling dekat dengan manusia, peleburan terjadi setiap detik, antara mana kebutuhan dan keinginan. Dan media itu dalam status di kontrol, tidak lagi bebas memberitakan informasi tentang kebutuhan. Karena alih-alih merdeka, kita malah terbelenggu oleh keinginan bentukan.

Demikian dengan rasa. Rasa adalah bentuk yang di picu oleh ketertarikan atau rasa ingin tahu. Manusia adalah mesin yang kompleks, yang di bekali dengan kepekaan dan kecenderungan. Psycology. Dari kompleksitas bentuk-bentuk itu manusia memiliki instrumen sendiri untuk menghasilkan hormon yang akan merangsang tindakan. Prilaku dan kecenderungan. Nah, sudah pada awalnya manusia tidak merdeka, karena rasa itu mudah di hasilkan, dari sebuah kamuflase atau pun siklus. Walaupun ada faktor X, faktor penentu terbesar itu datang dari Sang Gusti Maha Welas, ALLAH ta'alla. Dan itu tidak terdeteksi atau pun di rencankan.

Manusia pada hakikinya tidak akan merdeka, tidak akan mudah untuk menjadi merdeka. Merdeka hanya ada pada ucapan, hanya ada tulisan, menjadi jargon-jargon, menjadi kamuflase kejadian ketika kita merdeka terhadap sesuatu yang menghasilkan keterbalikan untuk sesuatu lainya.

Merdeka itu ketika seorang mahasiswa lepas toga, lepas kewajiban belajar, absen, bayar kuliah, setelah itu dia terjerat tuntutan untuk mencari pekerjaan.

Merdeka itu ketika seorang lelaki bisa melepas kan diri dari bayang-bayang kekasihnya, kemudia dia kan jatuh cinta dengan kekasih lain, dan terbelenggu.

Merdeka itu ketika seorang ayah telah selesai membiayai pendidikan anak-anaknya, akan tetapi kemudian harus menabung untuk menyiapkan pernikahan.

Merdeka dari satu jenjang akan masuk ke jeratan baru.

Manusia.

Untuk itu jangan serapi kalimat merdeka, cukup di letak kan di ujung bibir, jangan sampai masuk ke hati, pastikan untuk memaknai kata-kata merdeka sebagai ujung dari sebuah perjalanan yang lainya. Inilah konsep merdeka dalam benak saya, fragmen praktis yang mungkin berbelit-belit. Maka dari itu jargon-jargon tentang memaknai kemerdekaan dengan karya, kerja dan cinta adalah benar.

Merdeka itu kata ganti kalimat untuk memasuki sebuah prosa baru.

Perjalanan itu ke arah timur sedikit, kurang lebih 365 km dari tempat ini. Singgah di Malang untuk lanjut ke Banyuwangi. Dan yang menjadi pemicunya adalah kamu, pun sampai saat ini, masih terngiang bagai mana lidah ku memanggil Mu. Sekitar 6205 hari, itu jika di hitung secara global dan tanpa mengecualikan serapan-serapan yang terjadi di antaranya. Dan tiap-tiap kejadian itu hendaknya dimaknai secara bijaksana.(bulshit !!).

Banyak yang ter-rekam dan tiba-tiba menjadi makna. Makna menjadi merdeka adalah salah satu hal besar yang ter-rekam kini. Makna lainya adalah kamuflase antara manusia dan manusia.

Aku akan tetap merokok, karena semua tokoh revolusioner juga merokok, dan menurut ku itu keren. Tapi, aku sudah berhasil mengurangi nya, bukan, itu bukan demi kamu. Menurutku, merokok itu jangan terlalu banyak, jika terlalu banyak akan membuat sesak dada, begitu juga dengan merindumu. 

Jadi, sampai jumpa di kehidupan yang lain nya.