Project

the Inspiration : Saul Bass




Saya pertama kali mengenal nama Saul Bass pada sebuah majalah desain. Adapun kata-katanya yang menginspirasi saya adalah : " Design is thinking made visual ". Itu terlihat dari karya-karya beliau, yang menurut saya cukup tepat dan padat dalam mengkomunikasikan bentuk. 

Biografi ini saya comot dari http://designmuseum.org/design/saul-bass, 

SAUL BASS (1920-1996) was not only one of the great graphic designers of the mid-20th century but the undisputed master of film title design thanks to his collaborations with Alfred Hitchcock, Otto Preminger and Martin Scorsese.

When the reels of film for Otto Preminger’s controversial new drugs movie, The Man with the Golden Arm, arrived at US movie theatres in 1955, a note was stuck on the cans - "Projectionists – pull curtain before titles".

Until then, the lists of cast and crew members which passed for movie titles were so dull that projectionists only pulled back the curtains to reveal the screen once they’d finished. But Preminger wanted his audience to see The Man with the Golden Arm’s titles as an integral part of the film.

The movie’s theme was the struggle of its hero - a jazz musician played by Frank Sinatra - to overcome his heroin addiction. Designed by the graphic designer Saul Bass the titles featured an animated black paper-cut-out of a heroin addict’s arm. Knowing that the arm was a powerful image of addiction, Bass had chosen it – rather than Frank Sinatra’s famous face - as the symbol of both the movie’s titles and its promotional poster.

That cut-out arm caused a sensation and Saul Bass reinvented the movie title as an art form. By the end of his life, he had created over 50 title sequences for Preminger, Alfred Hitchcock, Stanley Kubrick, John Frankenheimer and Martin Scorsese. Although he later claimed that he found the Man with the Golden Arm sequence "a little disappointing now, because it was so imitated". 

Even before he made his cinematic debut, Bass was a celebrated graphic designer. Born in the Bronx district of New York in 1920 to an emigré furrier and his wife, he was a creative child who drew constantly. Bass studied at the Art Students League in New York and Brooklyn College under Gyorgy Kepes, an Hungarian graphic designer who had worked with László Moholy-Nagy in 1930s Berlin and fled with him to the US. Kepes introduced Bass to Moholy’s Bauhaus style and to Russian Constructivism.

After apprenticeships with Manhattan design firms, Bass worked as a freelance graphic designer or "commercial artist" as they were called. Chafing at the creative constraints imposed on him in New York, he moved to Los Angeles in 1946. After freelancing, he opened his own studio in 1950 working mostly in advertising until Preminger invited him to design the poster for his 1954 movie, Carmen Jones. Impressed by the result, Preminger asked Bass to create the film’s title sequence too.

Now over-shadowed by Bass’ later work, Carmen Jones elicited commissions for titles for two 1955 movies: Robert Aldrich’s The Big Knife, and Billy Wilder’s The Seven Year Itch. But it was his next Preminger project, The Man with the Golden Arm, which established Bass as the doyen of film title design.

Over the next decade he honed his skill by creating an animated mini-movie for Mike Todd’s 1956 Around The World In 80 Days and a tearful eye for Preminger’s 1958 Bonjour Tristesse. Blessed with the gift of identifying the one image which symbolised the movie, Bass then recreated it in a strikingly modern style. Martin Scorsese once described his approach as creating: "an emblematic image, instantly recognisable and immediately tied to the film".

In 1958’s Vertigo, his first title sequence for Alfred Hitchcock, Bass shot an extreme close-up of a woman’s face and then her eye before spinning it into a sinister spiral as a bloody red soaks the screen. For his next Hitchcock commission, 1959’s North by Northwest, the credits swoop up and down a grid of vertical and diagonal lines like passengers stepping off elevators. It is only a few minutes after the movie has begun - with Cary Grant stepping out of an elevator - that we realise the grid is actually the façade of a skyscraper.

Equally haunting are the vertical bars sweeping across the screen in a manic, mirrored helter-skelter motif at the beginning of Hitchcock’s 1960 Psycho. This staccato sequence is an inspired symbol of Norman Bates’ fractured psyche. Hitchcock also allowed Bass to work on the film itself, notably on its dramatic highpoint, the famous shower scene with Janet Leigh.
Assisted by his second wife, Elaine, Bass created brilliant titles for other directors - from the animated alley cat in 1961’s Walk on the Wild Side, to the adrenalin-laced motor racing sequence in 1966’s Grand Prix. He then directed a series of shorts culminating in 1968’s Oscar-winning Why Man Creates and finally realised his ambition to direct a feature with 1974’s Phase IV.
When Phase IV flopped, Bass returned to commercial graphic design. His corporate work included devising highly successful corporate identities for United Airlines, AT&T, Minolta, Bell Telephone System and Warner Communications. He also designed the poster for the 1984 Los Angeles Olympic Games.

To younger film directors, Saul Bass was a cinema legend with whom they longed to work. In 1987, he was persuaded to create the titles for James Brooks’ Broadcast News and then for Penny Marshall’s 1988 Big. In 1990, Bass found a new long term collaborator in Martin Scorsese who had grown up with – and idolised - his 1950s and 1960s titles. After 1990’s Goodfellas and 1991’s Cape Fear, Bass created a sequence of blossoming rose petals for Scorcese’s 1993’s The Age of Innocence and a hauntingly macabre one of Robert De Niro falling through the sinister neons of the Las Vegas Strip for the director’s 1995’s Casino to symbolise his character’s descent into hell.

Saul Bass died the next year. His New York Times obituary hailed him as "the minimalist auteur who put a jagged arm in motion in 1955 and created an entire film genre…and elevated it into an art."


Sumber : DesignMuseum.org

The Angry Face

Sore ini kepala saya serasa penuh. 

Polemik sosial yang rasa-rasanya sengaja mengikuti alur elit politik atau alur elit masyarakat ( baca : selebritis ). Media memang berperan besar !. Kondisi ini rasanya saya seperti sedang melihat sekumpulan parade sirkus yang lucu. Tapi pada akhirnya ketika saya mengajak berdiskusi/berbicara tentang hal itu, malah mereka yang menertawai, saya jadi jengah, ini akhirnya siapa yang lucu ?. Saya heran, begitu banyak konspirasi di negara ini, sangat besar bahkan. Tapi kok rasanya cuma saya yang merasa begitu. 

Ini adalah salah satu artikel yang membuat saya menulis hari ini. Tentang gunung emas di negara ini yang telah di rampok puluhan tahun oleh orang-orang asing. 


isinya membahas tentang sebuah artikel yang di tulis oleh Lisa Pease, pada sebuah majalah. Ini artikelnya dalam bahasa inggris, 



Artikel di atas hanya salah satu contoh sebuah berita yang mampu memprovokasi saya. Masih banyak lagi artikel-artikel hal yang senada, tentang konspirasi, illuminati, the book that we can not read, tentang bagaimana dan mengapa, tentang kebimbangan yang memang di jaga. Selebihnya ada banyak hal seperti itu, anda tinggal googling saja.


The Reason :  

Di belahan lain kepala ini, saya ada sampah-sampah anarki yang timbul ketika membaca artikel, tulisan , berita semacam/senada dengan hal yang di atas. Untuk itu saya membuat helloworld.project , selain untuk menyalurkan gairah dalam mendalami keindahan visual ( baca : illustrasi ), itu untuk menyalurkan kegundahan dalam ber-anarki. Tau kan? rasanya setelah membaca hal-hal tersebut vandalisme menjadi legal. Karena menurut saya musuh terbesar kehidupan sosial di lingkungan sekitar saya ini, adalah pola berpikir mereka. Entah bagaimana, saya merasa standart kebutuhan sehari-hari itu, sepertinya telah di kontrol, seperti telah di tentukan untuk mengkonsumsi apa, mendengar apa, melihat apa dan merasakan apa. Saya melihatnya : Negara merdeka dengan rakyat yang belum merdeka. Tendensi sosial membelenggu seperti jeratan yang tidak berakhir. Kebutuhan yang di manipulasi, sedangkan SDM belum memadai. Shock, saya melihat banyak orang berebut jadi manusia boneka. Dan itu satir.

Dalam Helloworld.project selain mempelajari gaya gambar, saya juga membuat sebuah karakter, yang saya beri nama Dante ( yang kata teman-teman lebih mirip Sponge Bob ; WTF ). Dante adalah sebuah karacter illustrasi yang di dasari oleh imajinasi tentang alam, bagaimana jika alam  itu adalah satu sosok, sebuah makhluk hidup. Tentunya kita tahu, jika alam di Indonesia ini telah tercabik-cabik di perkosa sana-sini. Ah man, kalo kita membaca sejarah peradaban, kita pasti tahu setiap peradaban maju itu mengorbankan alam di mana peradaban itu telah di bangun. Dan di negara ini, peradaban-nya aja masih belum maju, tapi alam-nya telah tercabik-cabik, dan kebanyakan bukan untuk kepentingan/keperluan bangsanya sendiri. Mungkin orang-orangnya buta, atau memilih tidak mau melihat, mendengar, merasa, atau mungkin ada sistem yang telah dengan sengaja memperalat orang-orang ini untuk begitu? kemudian banjir datang, gunung meletus, tanah longsor, asap berkepanjangan. ah, pemikiran ini membuat saya merasa skeptis. 


Ok, Kembali ke Dante. Hmm, dalam imajinasi saya Dante itu ya alam yang saya deskripsikan sebagai satu sosok. Dan akhirnya saya memilih membalas ' mereka ' dengan melegalkan vandalisme, dan koridor yang cukup keren untuk itu semua adalah ' Street Art '. Yap ! itu cukup keren, jadi saya bisa membebaskan sampah-sampah anarki di dalam kepala saya, tapi dengan cara yang benar-benar cool. Hey, mengapa tidak !!. Untuk itu saya membuat icon Dante : Angry Face. icon tersebut saya sosialisasikan dengan teknik wheate paste. Itu terinspirasi dari salah satu street art bernama Obey Giant / Shepard Fairey. Menggunakan kertas/poster kemudian di tempel di spot-spot yang pas. Memang bentuk icon hanya guratan-guratan seperti sebuah lambang Desepticon, atau lebih mirip-mirip wajah hantu/sang mbaurekso. Loh, bukanya nenek moyang kita percaya bahwa alam memang di wujudkan dengan bentuk seperti itu. Intinya memang saya sengaja tidak memberi teks, atau bentuk visual yang lebih jelas tentang perlawanan . Hanya bentuk pattern visual dengan nama Angry Face ( sampai saat tulisan ini saya tulis ). Karena memang menurut saya itu tidak efisien, yang ingin saya komunikasikan, yang ingin saya lawan adalah sebuah sistem, bagaimana merubah pola pikir adalah dengan membuat mereka berpikir.  

Tidak ada menggurui, yang ada adalah bagaimana caranya mengajak untuk melihat dari sudut di mana saya melihat. Egois ? well, memang itu adalah project ego sentris saya. Anda tidak mau ? ya sudah, ini toh bagian dimana saya membuang sampah-sampah anarki di kepala saya. Lagipula ' street art ' is a cool things to do. 



Kemudian muncul beberapa hal yang mulai mengganjal di kepala saya. Kalo mau berbicara tentang alam, kenapa kok pakai media kertas ? bukannya kertas asalnya dari kayu, berarti penebangan pohon ? atau apakah dengan menggeluti dunia street art, kemudian bisa jadi artist, dan mendapatkan pemasukan dari itu ?. oh maiiigood .. bagaimana saya harus menjawabnya ?